Apa itu konstitusi? Istilah konstitusi dalam banyak bahasa berbeda-beda, seperti dalam bahasa Inggris ”constitution”, dalam bahasa Belanda ”constitutie”, dalam bahasa Jerman ”konstitution”, dan dalam bahasa Latin ”constitutio” yang berarti undang-undang dasar atau hukum dasar. Jadi, konstitusi merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara. Dalam ungkapan lain, konstitusi adalah kerangka kerja (framework) dari sebuah negara yang menjelaskan tentang bagaimana menjalankan dan mengorganisir jalannya pemerintahan.
Konstitusi pada umumnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu tertulis dan tidak
tertulis. Konstitusi tertulis adalah aturan-aturan pokok dasar negara, bangunan
negara, dan tata negara yang mengatur perikehidupan satu bangsa di dalam
persekutuan hukum negara. Konstitusi tidak tertulis disebut juga konvensi,
yaitu kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul dalam sebuah negara. Contoh
konvensi dalam ketatanegaraan Indonesia, antara lain pengambilan keputusan di
MPR berdasarkan musyawarah untuk mufakat, pidato Presiden setiap tanggal 16
Agustus 1945 di depan sidang paripurna DPR, dan sebelum MPR bersidang, Presiden
telah menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk sidang umum MPR yang akan datang
itu.
Hampir semua negara memiliki konstitusi tertulis, termasuk Indonesia berupa
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sedangkan negara yang dianggap tidak memiliki konstitusi
tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua
lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak asasi manusia terdapat pada adat kebiasaan
dan juga tersebar di berbagai dokumen. Di Inggris, misalnya, memiliki dokumen
bersejarah, seperti Magna Charta Libertatum (1215), The Habies Corps Act (1670),
dan The Bill of Rights (1689). Dokumen-dokumen ini dikategorikan sebagai konstitusi
tidak tertulis, yang mengatur di antaranya tentang jaminan hak asasi manusia rakyat
Inggris.
Para pendiri bangsa telah sepakat
menyusun sebuah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis dengan segala
arti dan fungsinya. Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka
dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan
pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Di dalam negara yang menganut
paham demokrasi, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu
membatasi kekuasaan pemerintahan agar penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga negara akan lebih
terlindungi. Gagasan ini disebut dengan Konstitusionalisme.
Konstitusi Indonesia dikenal
sebagai revolutiegrondwet, yang bermakna bahwa UUD 1945 mengandung gagasan
revolusi yang berwatak nasional dan sosial. Tujuannya adalah dekolonisasi dan
perubahan sosial ke arah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Negara Indonesia menganut paham
konstitusionalisme sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Konstitusi adalah hukum dasar
yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh karena itu, konstitusi bukan
undang-undang biasa.
Konstitusi tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif biasa, tetapi oleh
badan khusus dan lebih tinggi kedudukannya.
UUD 1945 dirancang sejak 29 Mei hingga 16 Juli 1945, bersamaan dengan
rencana perumusan dasar negara Pancasila oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar
kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan
sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan penting,
seperti pengesahan UUD 1945 yang diambil dari RUU yang disusun oleh perumus
pada 22 Juni 1945 dan juga dari Panitia Perancang UUD tanggal 16 Juni 1945;
memilih ketua persiapan kemerdekaan Indonesia Soekarno sebagai presiden dan
Hatta sebagai wakilnya.
Naskah UUD 1945 pertama kali dipersiapkan oleh BPUPK. Hal itu dilakukan pada
masa sidang kedua tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945. Saat itu, dibahas
hal-hal teknis tentang bentuk negara dan pemerintahan baru yang akan dibentuk.
Dalam masa persidangan kedua tersebut, dibentuk Panitia Hukum Dasar dengan
anggota 19 orang yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Kemudian, Panitia ini
membentuk Panitia Kecil lagi yang diketuai oleh Soepomo dengan anggota terdiri
atas Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, H. Agus Salim,
dan Sukiman.
Panitia Kecil Perancang
Undang-Undang Dasar, pada 13 Juli 1945, berhasil membahas beberapa hal dan
menyepakati, antara lain ketentuan tentang Lambang Negara, Negara Kesatuan,
sebutan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan membentuk Panitia Penghalus Bahasa
yang terdiri atas Djajadiningrat, Salim, dan Soepomo. Rancangan Undang-Undang
Dasar diserahkan kepada Panitia Penghalus Bahasa.
Pada 14 Juli 1945, BPUPK
mengadakan sidang dengan agenda ”Pembicaraan tentang pernyataan kemerdekaan”.
Panitia Perancangan Undang-Undang Dasar melaporkan hasilnya. Pasal-pasal dari rancangan UUD berjumlah 42 pasal.
Dari 42 pasal tersebut, ada lima (5) pasal masuk tentang aturan peralihan
dengan keadaan perang, serta satu (1) pasal mengenai aturan tambahan.
Pada sidang tanggal 15 Juli 1945,
dilanjutkan sidang tanggal 15 Juli 1945 dengan acara ”Pembahasan Rancangan
Undang-Undang Dasar”. Saat itu, Ketua Perancang Undang-Undang Dasar, yaitu
Soekarno memberikan penjelasan tentang naskah yang dihasilkan dan mendapatkan
tanggapan dari Moh. Hatta, lebih lanjut Soepomo, sebagai Panitia Kecil
Perancang Undang-Undang Dasar, diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan
terhadap naskah Undang-Undang Dasar.
Penjelasan Soepomo, antara lain
mengenai betapa pentingnya memahami proses penyusunan Undang-Undang Dasar.
”Paduka Tuan Ketua! Undang-Undang Dasar negara mana pun tidak dapat dimengerti
sungguh-sungguh maksudnya Undang-Undang Dasar dari suatu negara, kita harus
mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui
keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu
dibikin. Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya.
Undang-undang yang kita pelajari,
aliran pikiran apa yang menjadi dasar undang-undang itu. Oleh karena itu,
segala pembicaraan dalam sidang ini yang mengenai rancangan-rancangan
Undang-Undang Dasar ini sangat penting oleh karena segala pembicaraan di sini
menjadi material, menjadi bahan yang historis, bahan interpretasi untuk
menerangkan apa maksudnya Undang-Undang Dasar ini.”
Materi ini digunakan sebagai bahan ajar.
Sumber:
Buku Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan untuk SMA/SMK Kelas XI Penerbit Pusat Perbukuan Badan Standar,
Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset,
dan Teknologi Komplek Kemendikbudristek Jalan RS. Fatmawati, Cipete, Jakarta
Selatan