Masih bingung mau menulis apa?
Pegangan! Lho kok pegangan? Ya, pegangan. Tentunya, kita masih ingat, ketika
kita bilang bingung, teman kita selalu mengatakan pegangan saja ke pohon. He…he…saya
tidak bercanda! Saya serius, kalau anda bingung mau menulis apa, berpeganglah!
Tapi jangan berpegangan pada pohon! Berpeganganlah pada pena atau tuts keyboard
komputer! Dan mulailah menulis. Tulislah apa saja yang anda suka. Apa saja yang membuat anda
bahagia dan senang, tulislah! Banyak hal menarik yang bisa anda tulis.
Jangan pikirkan tentang teori
menulis. Menurut Hatim Gazali di dalam blognya http://gazali.wordpress.com/2007/11/24/catatan-7/,
semakin banyak membaca tentang teori menulis, menyusun bahasa maka ia semakin
bingung dan terkekang untuk menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Karena
itulah, menurut saya; cara menulis yang paling jitu dan cepat adalah tanpa
belajar tentang teori menulis. Dengan tidak tahu bagaimana cara menulis,
seseorang bisa bebas menuangkan gagasannya sesuka hatinya. Demikan juga Alif
Danya Munsyi alias Remy Sylado dalam bukunya yang berjudul “Menjadi Penulis?
Siapa Takut!” mengatakan, jangan terlalu pusing bicara soal teori menulis.
Benar, teori menulis itu memang penting dibaca sebagai pegangan pengetahuan.
Kita percaya pula, bahwa yang menulis teori itu adalah para pandai dibidangnya.
Tetapi, kalau kita hanya pandai membaca teori, atau memulai kemauan menulis
dengan lebih dulu membaca teori, lantas terkungkung dengannya, boleh jadi kita
tidak pernah berani memulai memegang pena untuk segera menulis.
Ingat
kalimat inspiratif yang ada dibuku
Quantum Writing: Teruslah menulis. Jangan pikirkan tata bahasa, ejaan, atau
struktur kalimat.
Jadi, mulailah menulis! Menulis apa
saja yang anda suka! Masih bingung juga? Di dalam pikiran kita tentu banyak hal
berkecamuk: ada pikiran yang membahagiakan dan ada juga pikiran-pikiran yang
menyedihkan. Tulislah! Jangan tunggu pikiran-pikiran itu hengkang dan lenyap
dari dalam diri kita!
Ayo, mulailah menulis!
Ersis Warmansya Abbas dalam Ersis Writing Theory mengatakan, “Tulis
apa yang ada di pikiran, jangan memikirkan apa yang akan ditulis”
Kemampuan menulis seseorang memang
berbeda-beda. Daya ledak dan hentaknyapun berbeda. Ismail Kusmayadi (2011)
mengatakan, kemampuan menulis seseorang itu seperti sebuah petasan. Kapan pun
bisa disulut. Hanya saja, ketika meledak bunyinya berbeda-beda. Ada yang
berbunyi pelan karena kurang amunisi, ada juga yang menggelegar karena
amunisinya banyak. Menulis merupakan ledakan pikiran seseorang yang kadar
ledakannya bisa berbeda-beda.
Bagaimana supaya amunisi yang
dimiliki suaranya menggelegar?
Banyak membaca. Ya, membaca apa
saja. Buku, majalah, Koran, dan bahkan status-status yang ada di facebook,
twiiter, dan mungkin BBM. Dengan banyak membaca maka kita memiliki banyak
informasi yang dapat diolah menjadi ide sebuah tulisan atau buku. Ide buku ini,
misalnya, adalah hasil dari membaca buku-buku tentang menulis. M. Fauzil Adhim
dalam bukunya yang berjudul “Dunia Kata” berpendapat, sekurang-kurangnya ada
tiga hal yang harus dipelajari oleh seorang penulis. Pertama, ilmu-ilmu yang
dapat menguatkan jiwa, menajamkan hati, mengasah kepekaan dan membimbing
ruhani. Kedua, ilmu yang berkait erat dengan apa yang akan kita tulis. Ketiga,
banyaklah belajar ilmu komunikasi, termasuk psikologi komunikasi.
Berikutnya, banyak mendengar. Ya,
mendengar apa saja. Mendengarkan istri, teman, atasan, bawahan, atau siapa saja
yang kita temui dalam suatu perjalanan atau di mana saja. Dengan banyak
mendengar kita juga memiliki banyak informasi yang dapat diolah menjadi ide
sebuah tulisan.
Lalu, apakah dengan banyak membaca
dan mendengar saja sudah cukup?
Belum!
Supaya amunisi yang kita miliki
bersuara menggelegar, maka kita harus banyak berlatih menulis. Berlatih terus
dan terus. Bambang Trim dalam Karier Top sebagai Penulis (2011) mengatakan,
niat dan hasrat saja tidak cukup untuk menopang semangat menjadi penulis
professional.
Teruslah
berlatih dan berlatih!
Idenya bagaimana?